Menyoal Jabatan Presiden Kita
Oleh: Imron Rosyadi *)
Wacana perpanjangan masa jabatan presiden mencuat seiring perdebatan amandemen kelima Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dengan memasukkan kembali Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) ke dalamnya. Bila ada yang mengusulkan perubahan masa jabatan presiden tentu boleh-boleh saja. Tapi, menolaknya pun sah-sah saja.
Terlepas dari kebermanfaatannya, perpanjangan masa jabatan ini justru merupakan langkah mundur terhadap demokrasi dan bertentangan dengan semangat reformasi 1998 yang salah satunya membatasi jabatan presiden bahkan bertendesi kepada otoriterianisme.
Terlepas dari kebermanfaatannya, perpanjangan masa jabatan ini justru merupakan langkah mundur terhadap demokrasi dan bertentangan dengan semangat reformasi 1998 yang salah satunya membatasi jabatan presiden bahkan bertendesi kepada otoriterianisme.
Masalah kekuasaan merupakan masalah klasik. Pemimpin memang cenderung ingin untuk terus melanggengkan kekuasaannya. Dampak dari tidak adanya pembatasan masa kekuasaan akan melahirkan kesewenang-wenangan. Jelas pada masa Soeharto, presiden yang berkuasa selama 32 tahun di negara kita.
Hal ini selaras dengan apa yang dikatakan oleh Lord Ecton bahwa dalam kekuasan yang absolut tanpa batas pasti terjadi penyalahgunaan kekuasaan. Maka pembatasan terhadap masa jabatan presiden merupakan langkah efektif-subtantif yang harus dipertahankan untuk menjaga fatsun demokrasi kita.
Dalam hal ini, penolakan terhadap perpanjangan masa jabatan presiden semata-mata tidak dapat dipandang suka atau tidak suka terhadap rezim yang berkuasa sekarang. Melainkan, implikasi jangka panjang yang akan ditimbulkan dalam sistem demokrasi ke depan.
Mengutip tulisan Fahrul Muzaqqi di Harian Jawa Pos, pembatasan masa jabatan maupun periode jabatan presiden dilatarbelakangi beberapa alasan. Pertama, meminimalkan potensi petahana untuk memanipulasi pemilu berikutnya sekaligus untuk penyeimbangan kekuatan-kekuatan politik di luar petahana. Kedua, adanya tekanan yang besar bagi pemimpin untuk memberikan legacy yang positif karena dibatasi waktu. Ketiga, seorang pemimpin, betapapun kuat dan populernya, tidak mungkin tidak ada yang bisa menggantikan. Keempat, bahwa proses regenerasi maupun peralihan kepemimpinan politik secara teratur adalah suatu keniscayaan dan normal. Sekaligus proses ini dapat mendorong terciptanya ide-ide segar, inovasi-inovasi kebijakan, maupun motivasi baru. Kelima, dengan batasan masa jabatan maupun periode, proses maupun kelembagaan demokrasi menjadi tetap sehat.
Terkait substansi perpanjangan masa jabatan atau periode jabatan presiden, secara normatif tendesius menyumbat proses sirkulasi peralihan kepemimpinan kita. Terkhusus petahana berpotensi menjerembabkan demokrasi yang kita sepakati kepada jurang oligarki yang akut.
Pemusatan kekuasaan yang hanya berkutat di kalangan elit belaka tanpa distribusi kekuasaan yang merata justru akan menyebabkan ketimpangan-ketimpangan baru. Masalah-masalah ekonomi akan semakin akut mengahantui pelbagai daerah. Terlebih, di daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar).
Terlalu berlebihan, jika kekhawatiran sebagian kalangan terhadap proses pembangunan akan tersendat jika terjadi peralihan kursi presiden. Visi-misi pembangunan harusnya dilaksanakan secara intens-maksimal selama periode jabatan, bukan malah menyalahkan kurangnya waktu terhadap realisasi pembangunan. Sebaliknya, tidak ada jaminan juga, ketika presiden menjabat lebih lama, pembangunan akan semakin baik.
Bangsa ini harus ingat bahwa kita punya sejarah yang tidak menyenangkan ihwal presiden yang diangkat seumur hidup melalui Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor III/MPRS/1963 tentang Pengangkatan Pemimpin Besar Revolusi Indonesia Bung Karno Menjadi Presiden Republik Indonesia Seumur Hidup. Ini berakhir dengan pencabutan kekuasaan Presiden Soekarno melalui Ketetapan MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno.
Tegasnya, MPRS yang mengangkat Soekarno sebagai presiden seumur hidup dan MPRS pula yang mencabut kekuasaan itu. Sementara itu, Soeharto pada 21 Mei 1998 menyatakan berhenti sebagai presiden setelah berkuasa selama 32 tahun. Sejarah dari kedua kepemimpinan itu jangan sampai terulang lagi. Bangsa yang menjerumuskan pemimpinnya dalam kekuasaan yang besar dan lama, tapi pada akhirnya dijatuhkan dengan sangat menyakitkan.
Penghapusan Pemilihan Presiden Secara Langsung
Dalam hiruk-pikuk wacana masa jabatan atau periode jabatan presiden menyeruak, usulan Pengurus Besar Nahdhatul Ulama (PBNU) membuat banyak orang melontarkan komentarnya. Merupakan keabsahan bagi kita, menyatakan pendapat terhadap pelbagai situasi dan kondisi di negara ini.
Dalam hal ini, PBNU berkaca pada Pemilihan Presiden 2019 yang melahirkan banyak persoalan. Ongkos sosial yang dibayarkan terlalu mahal. Sebut saja menguatnya politik identitas berkamuflase agama yang diintrodusir dalam politik. Konstelasi politik 2019 sampai sekarang masih menyisakan ketegangan menjadi kekhawatiran.
Hemat saya, akar persoalannya bukan pada pemilihan langsung. Tetapi, ada pada elit politik yang alpa akan pendidikan politik kepada masyarakat kita. Bahkan kesemrawutan para elit itu sendiri yang justru menciptakan polarisasi yang akut. Politisasi agama dan hoaks oleh elit yang memperkeruh rivalitas sesama elemen bangsa. Tak kalah pentingnya, klientelisme politik berupa politik uang harus diredam sampai tidak muncul lagi ke permukaan.
Sebagai penutup, demokrasi adalah jalan terbaik bagi bangsa kita. Maka penting untuk menjaga dan merawat fatsun demokrasi agar tidak terdegradasi oleh kepentingan-kepentingan sesaat dan tentunya akan membawa kita kepada cita-cita bangsa; rakyat Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil, dan makmur.
__________________________
*) Penulis adalah mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unversitas Trunojoyo Madura (FEB–UTM) asal Sumenep
loading...
0 Comments