![]() |
(ilustrasi) |
BANGSA-BANGSA. Nampaknya saya pernah mendengar kata itu beberapa minggu yang lalu, saat saya mengunjungi Paman Darto di dusun seberang. Waktu itu paman dengan celana luriknya sedang duduk di emperan belakang rumah, tepat di dusun yang senyap dari kerumunan. Aku selalu senang tiap kesini. Jauh dari hingar bingar suara kendaraan. Lebih senyap dari rumah Moma, panggilan sakralku untuk perempuan yang mengasihiku. Biasanya, setiap kesini aku selalu mengajak Moma atau sekedar Moma yang mengajak, tapi kali itu aku memberanikannya seorang diri.
Seperti biasa, paman ditemani secangkir jeruk nipis hangat, mungkin dari beliau kenapa saya juga selalu memesan jaruk nipis saat berkunjung ke warung-warung kopi. Sesekali beliau ditemani secangkir kopi.
Di samping kanannya lagi ada radio tua berukuran besar, paman biasa mendengarkan dengan perenungan-perenungan. Senikmat itu aku memandangi kekhusyukannya.
Kebetulan bangsa-bangsa disebutkan oleh radio tua yang setia menemani paman bekerja di kala tutup senja. Bekerja dengan alam pikirnya yang kumaksud, biasanya dia memulai pekerjaan keduanya itu sejak pukul tiga. Pekerjaan pertamanya berladang.
Seketika kedatanganku, paman tetap tidak merubah duduk dan tempat duduknya, aku yang menghampiri paman lebih dulu. Waktu itu aku masih sangat lugu, tapi sudah dianggap lucu oleh paman. “Heran…” Saat ku menyalaminya, paman melerai rambut panjangku dan menyelenting, “anakku, kamu tidak berbakat meneruskan warisan keluargamu”.
Maksud Paman Darto, menjadi seorang petani. Sebab saat menyelamkan kaki di lubang-lubang padi itu, seketika itu kakiku bercak-bercak merah. Aku hanya setengah menyengir.
Aku membuka pembicaraan, sebelum paman mengajukan banyak pertanyaan. Aku biasa gelagapan saat menghadapi pertanyaan paman.
“Hari ini cukup panas ya paman,” singgungku tiba-tiba.
“Benarkah? Tidak juga.” Aku mulai menggigiti ujung jari tanganku, pertanda harus menyiapkan strategi jawaban-jawaban.
“Kamu usai membaca berita apa hari ini?” paman melanjutkan pertanyaannya dengan sangat santai.
Aku perlahan menjawab, “kebakaran hutan paman, pemerintah lambat mengatasinya. Kasian masyarakat disana”
“Lalu apa lagi?” sambung paman sambil mengalihkan mukanya padaku, paman mulai memperhatikanku
“Korupsi, paman. Kenapa mereka tega sekali ya. Bangsa kita sudah darurat paman”. Seketika itu aku mengerutkan dahiku, Kalau sudah mengerutkan dahi, biasanya paman sudah senang, sebab katanya, aku mulai memikirkan bangsanya.
Paman mengembalikan pandangannya pada ladang kacang panjang di depannya. “Pantas saja kamu kepanasan, habis baca kebakaran hutan sih,”. Paman mencoba membuyarkan keadaan dengan gurauan, mengatasi ketegangan anaknya.
“Sumatera dan Kalimantan itu banyak lahan gambut yang mudah dibakar, jadi itu sudah biasa termasuk tahun-tahun mendatang, kalau sudah puncaknya akan terbakar,” katanya.
“Tapi kan pemerintah bisa mengatasinya dengan segera, punya fasilitas-fasilitas misalnya” sangkalku dengan perhatian penuh.
“Namanya bencana, itu tidak terencana, seberapa cepat dan luasnya, termasuk sumber daya yang sudah dilatih dalam penanganannya”. Paman melanjutkan dengan pelan, “kalau korupsi itu juga bencana yang ada sejak dulu, sama juga sebabnya karena kepanasan, kepanasan pengen punya banyak uang”.
“Kenapa disebut bencana paman? Keserakahan manusia dong?” aku sudah tidak lagi menyiapkan jawaban-jawaban kepada paman, semua mengalir begitu saja.
Sambil mematikan radio tua, paman melanjutkan gurauannya. “Bencana itu terjadi karena perubahan kondisi alam yang dipengaruhi iklim, dan keterawatan manusianya, di samping sudah digariskan.”
“Hmmmmmbb….” sebuah kata yang diungkapkan anak kekinian saat mengindap kedilemaan untuk merespons.
“Jadi jangan sering kepanasan ya,” selenting paman.
Moma pernah menceritakan tentang kenakalan pemikiran-pemikiran Paman Darto saat masa mudanya. Jelas saja dia nakal. Keluarga yang lain memahami jenis-jenis pupuk dan obat padi, paman tidak. Paman juga ngeyel-an.
Seketika berpikir, lantas aku ini keturunan siapa, mengadopsi dan mewarisi berbagai karakter dan ciri fisik. Misalnya ketinggian seperti nenek dari moma, warna kulit seperti ayah, hidung menyerupai nenek dari ayah, perasa dari sifat Moma, Nyoh-an seperti ayah. Suka keluyuran dan ngopi seperti kakak dari Moma. Untung waktu itu aku tidak diberi nama Bhineka Tunggal Ika.
Sambil aku menyapu halaman depan rumahnya, Paman Darto melanjutkan gurauannya soal bencana. Diketahui, paman dulu sering membaca tokoh-tokoh nasionalis. Ia fasih bercerita soal Soekarno saat memproklamasikan kemerdekaan. Konon, almarhum kakek pernah terlibat di arena sewaktu Soekarno mengumumkan kemerdekaan bangsa.
“Arena?” desusku sambil membelalakkan mata ke atas. Untuk ukuran paruh baya yang hanya bersekolah di tingkat dasar, pemilihan kata yang diambil paman seringkali membuatku terheran-heran. Padahal tidak cukup banyak buku bacaan di sudut-sudut rumah paman.
Paman melanjutkan cerita pada saat itu naskahnya diketik oleh Sayuti Melik dengan bendera yang dijahit oleh Ibu Fatmawati.
Belum selesai aku menyapu di sekeliling paman, dia melanjutkan pertanyaan “Apakah kamu tahu Tan Malaka?”
“Saya belum pernah bertemu beliau, paman”. Tatapan paman masih sama, ke ladang kacang panjang. “Ah iya, bagaimana kau bisa tahu, dia sudah tidak ada (meninggal).”
“Nah, jadi mana mungkin saya tahu kan, paman?” minimal jawabanku bisa mengurangi pertanyaan-pertanyaan selanjutnya.
“Maksud paman adalah karyanya, kehidupannya, atau bukunya.” Sekarang, paman memintaku menyudahi sapuanku, dan duduk di sebelahnya.
“Saya pernah membaca buku Tempo, paman, judulnya Bapak Republik yang terlupakan, itu mengisahkan Tan Malaka, paman. Tapi di sekolah saya tidak pernah mendapat penjelasan tentang Tan”
“Benar nak, beliau adalah sosok pahlawan yang tidak semua guru mengabarkan, ia adalah penggagas republik, dibalik Soekarno dan Moh. Hatta. Soekarno itu orang lapangan, Moh Hatta konseptor. Tan Malaka berseberangan dengan Soekarno. Bagi Tan kemerdekaan itu harus 100 %, sedang Soekarno menganggap menyatakan diri untuk merdeka terlebih dahulu. Itu yang kemudian sampai hari ini kemerdekaan masih saja digelorakan, padahal Negara ini sudah merdeka. Pada era keduanya muda, ada tokoh lain yaitu Syahrir, DN aidit. Eyang kamu menjelaskan dengan sebutan tokoh sosialis.”
“Kalau dalam buku itu, yang mencetuskan konsep republik adalah Tan, bahkan beberapa kali pidato yang digalakkan Soekarno bersumber dari Tan. Kalau Hatta, dikenal sebagai bapak ekonomi bangsa” sambungku.
“Itulah sejarah, yang diciptakan dengan unsur kepentingan. Akan menjadi parsial dan ambigu.” lirih paman.
Sekali lagi saya menatap heran ke paman, bagaimana dia mengerti dan memahami pilihan-pilihan kata itu. Mungkin berkat radio tua yang setia menemaninya.
“Yang diterima generasi hari ini tentang sejarah adalah sebagian, sekolah bukanlah satu-satunya sumber belajar jika kamu hanya ingin mendapatkan pengetahuan, bahkan seharusnya sekolah menjadikanmu menimbulkan pertanyaan-pertanyaan, menjadikanmu selalu tidak puas.” sambung paman.
“Kalau bukan karena untuk mendapat ilmu pengetahuan, lantas apa tujuan sekolah?” tanyaku dengan penuh perhatian.
Paman kembali menerangkan, “berteman, memperbanyak teman, dan melakukan pergaulan. Nak, pengetahuan itu bisa didapat dari buku, sedangkan teman tidak. Teman didapatkan dari pergaulan, kamu di sekolahkan agar kamu mendapat teman yang lebih baik, agar kamu diajarkan bagaimana adab berteman, agar kamu memahami karakter banyak manusia itu dengan berteman, agar kamu menjadi manusia yang utuh itu dengan berinteraksi dan berbagi. Di dalam pertemanan itu terdapat unsur saling membelajarkan.”
Paman kembali melerai rambutku, “Nak, yang paman ingat dari kamu saat masih ingusan adalah pernyataanmu soal teman. Kau bilang waktu itu teman adalah tempat belajar. Itu yang harus terus kamu pegang sampai kamu dewasa dalam menghadapi perbedaan antar pertemanan.”
“Wah bahkan aku baru tahu, kalau dulu aku penah bilang begitu. Dan ternyata alasan itu yang masih kugunakan sampai sekarang” gumamku.
“Kamu tahu, kenapa paman tidak menceritakan DN Aidit, Syahrir dan lain sebagainya?” paman kembali bertanya.
“Agar aku membaca kan, paman?” berharap jawabanku sesuai yang diinginkan paman.
Paman memandangi saya dengan tajam. “Nak, ilmu pengetahuan itu luas, maka membacalah. Jiwa itu lapang, maka luaskanlah. Dunia itu luas, maka bergaulah”
“Dilaksanakan paman.” bak pemimpin upacara yang mengiyakan instruksi komando.
“Tapi paman, jika saya membaca, saya ceritakan ke siapa nantinya, saya akan tanya pada siapa ketidakjelasannya?”
“Kamu dapat membuatnya bermanfaat dengan membuat tulisan dan bisa mendiskusikannya dengan teman-temanmu.” kata paman.
“Paman pernah mengkritik pemerintah?” singgungku dengan penuh penasaran.
Dengan memubusungkan dadanya paman mengatakan. “Oh tentu, paman ini seorang yang visioner.”
“Mengapa paman tidak jadi pejabat?” tanyaku penuh heran.
“Paman hanya tidak ingin menjadi orang kaya yang tinggal di Kota, menjadi pejabat dengan penuh drama.”
“Begitu ya? Jadi semua pejabat itu bersandiwara, yah?” tanyaku lagi.
“Tidak semua nak, masih banyak orang baik, hanya banyak pula yang belum terlihat. Paman meneruskan pertanian agar kelak masih ada generasi yang mau berkucur keringat diladang.” tangkisnya.
________________________
*Tati, adalah Ketua DPD IMM DIY Bidang IMMawati. Mahasiswi Pascasarjana Kebijakan Publik UGM.
loading...
0 Comments